Saat Terakhir Aku Bersamamu
Gelap malam mulai datang. Bayangan sang
surya mulai menghilang. Ku terdiam di pinggir jalan ditemani titik-titik
hujan yang menari-nari di atas hamparan bumi yang sepanjang hari
tersengat sinar raja siang. Perhiasan malam berkedip-kedip menampakkan
cahaya yang menambah keindahan malam. Ku hanya terdiam beku tanpa suara
meski ada dirimu yang ada bersamaku. Namun tak ada cakap diantara kita.
Hanya terdiam dan terdiam, terbisu tanpa suara. Sebenarnya ingin sekali
ku mengajakmu berbicara sekedar mencairkan suasana, tapi apa daya aku
seorang wanita, gengsiku lebih besar daripada niatku mencairkan suasana.
Tak kusangka yang begitu menjaga diri mencoba mendekat padaku,kurasa
kau ingin mencoba mencairkan suasana. Tersengat aroma tubuhmu yang
begitu harumnya sampai aku ingin muntah. Namun aku tak kuasa
mengatakannya padamu. Hanya kupendam dan ku pendam aroma itu. Kau mulai
mengajakku berbicara walau terbata dalam berkata. Ku mencoba melupakan
aroma khas tubuhmu dan memperhatikanmu, sungguh aku geli melihat
ekspesimu yang begitu tegang dan kaku. Sambil kumainkan jari-jariku di
tombol HP baruku, ku ajak engkau rileks dengan posisi kita. Meski aku
tahu, ini sungguh berat bagimu, terjebak dalam kucuran air hujan,
berteduh di tepi jalan tanpa seorangpun selain lalu lalang kendaraan dan
kita. Untung saja sayup adzan maghrib segera terdengar meski rintik
hujan masih menari-nari di atas bumi. Kau mengajakku ke sebuah masjid
yang tak jauh dari tempat kita berteduh. Ku ikuti langkahmu menuju
masjid, meski aku sadar aku belum sempurna menjalankan sholat, masih
sering bolong. Namun aku bahagia bisa bertemu denganmu, kau
mengajarkanku tuk kembali ke Tuhanku yang telah lama kutinggal demi
menuruti nafsuku.
Usai kubasahi hati dengan sholat dan
untaian dzikir kepada Sang Ilahi kulangkahkan kakiku mengikutimu
menyusuri indahnya perjalanan malam. Perjalanan yang mampu memijat
otot-otot perutku dan mampu menguatkan hatiku karena hentakan jalanyang
terkadang mengagetkanku. Gelap dan sunyi yang menemani perjalanan kita.
Tersesat dan bertanya menjadi senjata dalam mencapai tujuan kita. Tak
cukup sekali kita tersesat dan bertanya. Berkali-kali kita tersesat dan
bertanya. Kau dan aku tak tahu jalan yang kita tuju. Kau hanya tahu
tempat akhir tujuan tanpa tahu jalan yang kita sama sekali belum
menginjaknya. Hanya keyakinanmu yang begitu kuat yang mampu mengantar
kita ke tujuan. Perlahan kita tapaki jalan untuk menuju rumah saudaramu.
Dengan sepeda motor kita terus melangkah tanpa rasa kekhawatiran.
Ribuan langkah telah tertapaki, jalan
panjang telah terlalui, terlepas dari kesesatan jalan, trepancar rona
kebahagian karena telah sampai di jalan yang sudah kau hafal yang
menandakan kita akan segera sampai ke tujuan. Berseri-seri wajahmu akan
segera berjumpa dengan orangtuamu yang, melepas rindu yang terbelenggu.
Dan akhirnya tepat jam 19.30 kita sampi tujuan. Kita masuk rumah
bersalam-salaman dan disambut dengan penuh keramahan. Akupun tak tahu
mana ibumu karena orang-orang yang di tempat itu masih muda-muda yang ku
sangka itu kakakmu semua.
Setelah disambut dengan penuh keramahan,
dihidangkan pelengkap penghormatan kepada sang tamu. Meski perutku sudah
sesak penuh karena baru saja aku manjakan dengan berbagai makanan dalam
pesta tadi sore, namun aku tak kuasa menolak apa yang ada di hadapanku.
Cabe hijau cacah yang dilumuri minyak panas dalam wajan pengorengan
tersedia melengkapi hidangan di hadapanku. Meski terasa aneh bagiku dan
terbayang betapa pedasnya makanan itu. Namun setelah kucicip satu sendok
masuk dalam mulutku, ternyata betapa nikmatnya makanan itu . Dan
akhirnya satu piringpun tersantap habis olehku.
Waktu semakin larut, usai menikmati cabe
goreng yang terhidang, kita berpamitan untuk pulang. Sampai saat itupun
aku belum juga tahu mana ibumu. Di tengah perjalanan pulang banyak
cerita yang saling kita lemparkan. Terasa indah malam itu dan ini
pertama kali aku bisa bicara banyak denganmu. Ku bertanya yang mana
ibumu dan ternyata ibumu itu adalah orang tadi aku kira kakakmu, sungguh
aku baru tahu bahwa ibumu itu masih semuda itu. Ku antar kau menuju
tempat tinggalmu, terasa berat mengucapkan kata pisah denganmu, ada
sesuatu yang aneh dalam diriku. Meski berat akupun harus segera pulang
dan setelah kau mengucapkan kata terimakasih aku langsung tancap gas
untuk pulang.
Setelah peristiwa malam itu, ternyata
benar firasatku, aku benar-benar kehilangan dirimu. Kau menghilang dari
hidupku,aku tak tahu lagi dimana dirimu. Masih hidupkah engkau atau
sudah tiadalah dirimu aku tak tahu,aku tak bisa lagi bertemu denganmu,
tak bisa lagi aku berbicara denganmu, mengobrol denganmu. Tak ada lagi
seseorang tak pernah berhenti menasehatiku. Tak lagi bisa aku
menghubungimu, walau hanya sekedar telepon atau sms. Tak ku sangka
ternyata malam itu adalah malam perpisahan bagi kita. Aku hanya
berharap semoga engkau baik-baik saja di sini aku akan selalu berusaha
menjalani nasehat-nasehatmu. Aku sangat merindukanmu. Semoga kelak kita
bisa dipertemukan kembali.