Cinta Pertama

Lolos moderasi pada: 19 November 2015

Rengkuhan selimut membuat Ita sedikit bermalas-malasan untuk bangun. Gemericik hujan sisa tadi malam yang masih terdengar lumayan deras dari atap kamarnya, semakin menambah dinginnya suasana pagi itu. Dengan semangat ’45, akhirnya Hesta berhasil bangun mengalahkan hawa dingin yang menjalari tubuh. Setelah persiapan ini-itu selesai, di bawah rintikan gerimis yang mulai mereda, ia pacu sepeda motornya menuju ke sekolah yang berjarak enam kilometer dari rumahnya.
“Ta, temenin aku yuk. Aku mau ketemu Bima nih, mau minta tolong gambarin tugas dari Pak Gito kemarin,”
Baru saja Ita ke luar dari tempat parkir, sudah pula disambut oleh Elsha, sahabatnya. Mereka berdua memang punya kelemahan yang sama, yaitu nggak bisa gambar. Tapi bukan itu yang mau dibahas di sini. Seusai perbincangan ringan itu terjadi, mereka melangkahkan kedua kaki mereka -tentu dengan badannya juga- menuju kelas VIII-E, kelas Bima. Suasana kelas VIII-E masih cukup sepi. Baru ada segelintir orang saja di kelas itu. Sambil menunggui sahabatnya mengobrol dengan Bima, Ita terduduk di bangku taman sambil memainkan android-nya. Tiba-tiba datang seseorang menghampiri kesendiriannya.
“Sendirian aja nih, Ta?” ucap sesosok pria yang sontak mengagetkan Ita. Pasalnya cowok itu datang tiba-tiba di tengah lamunannya.
“Hehe, maaf ngagetin,” sambung cowok berpenampilan cool yang dikenal bernama Aldino itu. Rasanya dia sadar telah mengagetkan Ita.
“Eh, kamu Din? Nggak apa-apa kok. Tadi aku ke sini sama Elsha, tuh dia lagi ngobrol sama Bima di depan kelas kamu,” jawab Ita dengan hati yang masih dag-dig-dug karena kaget tadi.
Perbincangan dua insan yang baru saja akrab itu berlangsung selama lima belas menit, yang diakhiri oleh suara bel masuk yang serempak berbunyi di setiap kelas. Langsung saja Ita berlari menuju kelasnya, VIII-B. Tapi, kenapa ia hanya sendiri? Kemana Elsha? “O-ow, Elsha ketinggalan!” ujar Ita setelah sampai di kelasnya. Hari itu sepertinya Ita sedang terkena sesuatu deh. Nggak biasa-biasanya Ita bahagia seperti ini. Entah ada apa di dalam pikiran dan perasaannya, mungkin ia kemasukan jin baik, jadi hari ini dia bahagia banget.
“Kamu kenapa Ta? Kok perasaan bahagia banget sih hari ini?” tanya Lenny, dia sahabat Ita sejak SD. Rumah mereka berdua hanya berjarak beberapa meter.
“Ku rasa ku sedang dimabuk cinta,” sambil bernyanyi Ita menanggapi pertanyaan Lenny. Sepertinya memang Ita lagi jatuh cinta. Sebuah rasa yang membuat hatinya tak menentu sejak pagi tadi.
“Menurut kamu, Dino itu orangnya gimana sih? Baik nggak? Terus dia anaknya nakal apa nggak?” Ita langsung menyodorkan serentetan pertanyaan yang sontak membuat Lenny sedikit bingung untuk menjawab pertanyaan yang mana dulu.
“Hmm, Dino siapa tuh? Aldino Firmansyah atau Dino siapa?” Lenny malah balik bertanya.
“Emang ada Dino yang lain ya di sekolah kita itu? Perasaan sih aku kenalnya cuma Aldino Firmansyah doang. Dan memang hanya ada satu orang yang namanya Dino di sekolah kita,” jawab Ita sedikit bingung. Menurut sepengetahuannya, memang hanya ada satu orang yang bernama Dino. Ia yakin itu. Pasalnya, sebagai seorang sekretaris OSIS sudah sering ia mengurus identitas para siswa di sekolahnya itu, dan tidak ia temui orang yang bernama Dino selain Aldino Firmansyah.
“Hehe, iya juga sih. Hmm, kalau menurut aku sih ya. Cuma menurut aku loh ya. Jangan terpaku sama jawabanku. Bisa aja dia punya sifat atau sikap yang berlawanan,” Lenny malah bicara panjang kali lebar kali tinggi.
“Menurut aku sih, Dino orangnya cakep, baik, nakal sih enggak, tapi dia suka usil kata temen-temennya. Hmm, satu lagi. Dia nih orangnya cuek banget, terus cemburuan,” akhirnya kata pengantar yang panjang bin lebar binti tinggi itu telah mengantarkan ucapan Lenny ke poin pembicaraan yang Ita tanyakan.
“Kamu tanya-tanya tentang Dino kenapa emang? Hayoo, suka ya?” Ita yang sedang senyum-senyum sendiri jadi salah tingkah mendengar pertanyaan Lenny.
“Iya, hehe. Padahal aku ngobrol sama dia baru tadi pagi loh. Pertemuan singkat yang meninggalkan kesan mendalam di hatiku. Ucapan dia menarik. Aku terhanyut dalam obrolan singkatku dengan Dino. Uhh, aku suka dia!” jawab Ita dengan angan ingatan yang kembali pada peristiwa tadi pagi.
“Ya udah, jadian aja!”
“Eh, ngomong jadian kok gampang banget. Ini kali pertama aku menaruh hati pada cowok. Iya kalau Dino juga ada rasa sama aku, lah kalau enggak gimana? Terus, kalau pun mau jadian, emang aku harus mulai duluan gitu? Nggak mungkinlah!” Jawab Ita dengan cemberut.
Rasa sayang yang Ita pendam buat Dino nggak selalu indah. Banyak sekali hal yang sempat membuat feeling Ita naik turun. Pernah suatu waktu ada seseorang yang mengaku jadi pacarnya Dino, dan bilang yang enggak-enggak.
“Mbak pacarnya mas Dino ya?” Ucap seseorang yang ngakunya bernama Ajeng.
“Bukan tuh? Kamu emangnya siapa kok nanya-nanya gitu?” Jawab Ita santai, sedikit bingung juga sih.
“Ini Ajeng mbak, pacarnya Dino. Mbak jangan deket-deket sama Dino lagi ya? Apa emangnya mbak nih cewek gampangan ya? Sampe pacar orang dideketin segala?”
Ah, banyak sudah dampak plus minus yang menimpa Ita. Tapi tak sedikitpun rasa sayang Ita berkurang untuknya, walau mungkin Ita di sini hanya berperan sebagai pengagum rahasia saja.
Hari-hari berlalu begitu cepat, semakin banyak waktu yang terlewat, Ita dan Dino semakin dekat saja. Mereka tampak serasi banget, bahkan belum ada hubungan “berpacaran” antar keduanya, udah banyak gosip yang beredar bahwa mereka berdua udah jadian. Mungkin akan dianggap biasa aja kalau yang jadian itu orang lain, bukan Ita. Gimana enggak? Seorang yang familiar dikenal oleh seluruh siswa, dan belum pernah pacaran satu kali pun, akhirnya jatuh hati kepada sosok yang bernama Dino. Tapi, sepertinya gosip itu mengalami perubahan.
“Ta, aku udah lama sebenernya suka sama kamu. Kamu mau gak jadi pacar aku? kalau kamu nggak mau, nggak apa-apa kok, yang penting kamu nggak marah sama aku,” ucap Dino pada suatu malam. Tepatnya hari sabtu malam minggu, pukul delapan malam tanggal 2 Februari 2013. Ita tidak pernah menyangka kalau Dino akan mengucapkan kata-kata itu. Ita hanya terdiam seribu bahasa, sungguh ada satu hal yang ingin ia utarakan malam itu, tapi rasanya Ita masih belum siap untuk berucap apa-apa lagi.
“Mm, Din. Beri aku waktu buat jawab ya? Aku belum siap kalau harus jawab malam ini juga. Bisa kan kamu ngertiin aku?” hanya itu kalimat yang bisa Ita ucapkan, sekaligus kalimat pembawa jalan ke luar dari keterpakuannya malam itu.
“Iya, aku bisa nungguin kamu kok. Sampe kapanpun itu. ‘Cause I will never let you go, girl,” jawab Dino. Akhirnya percakapan via telepon itu bisa berakhir, sehingga Ita bisa melamun sejenak untuk memikirkan jawaban dari ucapan Dino beberapa menit yang lalu. Hanya dua kata sih yang jadi clue pilihannya. Kata ‘iya’ atau ‘tidak’. Tapi dalam menentukan, bagi Ita tidak semudah membalikkan telapak tangan. Pasalnya ini kali pertama Ita menaruh hati pada seorang pria, dan ini kesempatan pertamanya juga untuk merasakan indahnya cinta. Dan ketika ia harus memilih salah satu dari dua kata yang ada, kata apa yang harus ia pilih? Akankah ia menyia-nyiakan kesempatannya untuk merasakan apa itu arti cinta?

Matahari belum sepenuhnya muncul ke permukaan. Karena tertimpa mendung sisa tadi malam, matahari malas-malasan ke luar karena mungkin ia kedinginan jadi asyik tertidur deh. Pagi ini, wajah Ita masih terliahat kacau. Dia sudah punya pilihan sebenarnya, tapi dia masih ragu. Akankah ia akan melontarkan kata itu? Atau ia hanya akan menggantungkan perasaan Dino aja?
“Good morning, udah bangun apa belum cantik? Harusnya udah dong, biar pun ini weekend?” isi pesan yang baru saja masuk ke handphone Ita. Ita hanya senyum-senyum menanggapi isi pesan tersebut.
“Mungkin, ini waktu yang tepat untuk menjawab. Mumpung pikiran masih fresh, belum terlalu pusing karena kebanyakan tugas. Aku juga nggak mau nggantungin perasaan orang. Dan mungkin pilihanku ini yang terbaik,” batin Ita.
Huruf demi huruf ia ketikkan di ponselnya, sehingga membentuk gugusan kata, kalimat dan paragraf. Hatinya berkata demikian. Jemarinya mengetik sesuai apa yang hatinya katakan, sama seperti ketika aku mengetik cerpen ini. Tanpa pikir panjang, akhirnya Ita menekan tombol ‘send’ di layar handphone-nya itu. Tiba-tiba ada panggilan masuk dari Aldi.
“Beneran Ta,” suara Aldi langsung menyahut begitu saja dari ujung sana. Padahal belum juga Aldi mengucapkan salam. Telinga Ita juga belum sepenuhnya mendengar ucapan Aldi.
“Beneran apanya?” Tanya Ita sedikit bingung. Pasalnya, Aldi asal celetuk saja. Belum juga Ita memasang telinganya di speaker handphone.
“Yang… Yang kamu SMS-in tadi itu!” Jawab Aldi. Oh, ternyata Aldi langsung kaget mendengar jawaban Ita. Jadi belum juga Aldi mengucap salam, langsung nyelonong ke pertanyaan.
“Hm, bisa jadi beneran. Tapi, ada syaratnya. Nelepon balik ke nomor ini, terus tanya ulang, tapi diawali pake salam. Bisa kan?” Akhirnya Aldi mengulang pembicaraannya dari awal. Haha, lucu memang.
“Well, cukup kan? Jadi beneran kamu mau nerima aku?” Aldi meyakinkan Ita. Oh, jadi Ita bilang kalau dia mau nerima Aldi.
“Ya, I’ll be your girlfriend, My Boy!” ucapnya. Hari yang bahagia.
Minggu pagi tanggal 03 Februari 2013 jam 06.30, untuk pertama kalinya Ita merasakan indahnya cinta pertama, bersama Aldino Firmansyah. Ita berharap bahwa Dinolah yang akan menjadi cinta terakhirnya. Karena rasa sayang itu tertanam begitu kuat di sana, di hati Ita. All of her love, her feels, are belongs to him, Aldino Firmansyah.