Indahnya Cinta Ratih




Cerpen Karangan:
Lolos moderasi pada: 19 November 2015


“Sedang apa malaikat kecilku di sana? Apa ia sudah makan? Apa tawanya masih mengembang di bibir mungilnya? Apa ia sudah bisa merangkak, berjalan atau mungkin sudah bisa berlari…”
Setetes air mata jatuh kembali mengenai kepalan tangan seorang wanita berambut lurus hitam itu. Tangan kirinya meraih sapu tangan kecil dan menyeka pelipis matanya perlahan. Tapi tampaknya semua itu percuma, air matanya bukan berhenti malah kembali menetes bahkan kini lebih deras hingga sapu tangan berwarna jingga itu menjadi basah.
Wanita itu berusaha menguasai diri segigih mungkin, tapi semakin ia menguasai diri, maka hatinya semakin bergejolak. Menentang kenyataan yang terlalu pahit untuk dirasakannya. Ego, amarah, penyesalan, berbaur menjadi satu, yang mampu terekspresikannya melalui air mata. Ya! Hanya air mata yang mampu menjelaskan kegundahannya dan hanya air mata yang mampu menjelaskan kerinduan pada sang malaikat kecilnya, Amelia.
Sambil tergopoh-gopoh Ratih mencoba bangkit dan meraih satu-satunya foto di apartemen mewah itu. Ya, itu foto dirinya dengan Amelia. Ia meraba foto itu dengan sangat perlahan dan penuh cinta, cinta yang telah lama terpendam yang hanya tersalurkan lewat foto yang terbingkai anggun itu. Karena hanyalah foto itu satu-satunya benda yang bisa meredam rasa rindunya dan setiap kali memeluk foto itu ia selalu berharap, anaknya -Amelia- bisa kembali lagi kepangkuannya.
Ratih mulai menyadari suatu hal, ternyata uang memang tidak bisa menggantikan apapun. Apalagi sebuah nyawa -dari darah dagingnya sendiri. Ia berkali-kali mengutuk kebodohan itu. Kebodohan yang telah membuatnya menderita kini. Bagaimana setan bisa menutupi akal sehatnya hingga dengan sadar ia menaruh buah hatinya yang baru saja ia lahirkan ke dalam kardus dan ditinggalkan di depan sebuah pintu rumah. Tadinya perasaan bersalah masih menggerayangi hati nurani Ratih tapi akalnya yang telah dikuasai setan itu mengelak.
“Anak itu hanya menghabiskan uang kita. Anak pun kerjaannya hanya merepotkan dan menyusahkan saja. Tak ada gunanya.” Begitulah pikiran Ratih dulu, apalagi sang anak dibuang di depan rumah orangtuanya.
Itu yang membuatnya semakin merasa tak berdosa. Ya, walaupun orangtua Ratih tidak tahu menahu tentang kelahiran Ratih, setidaknya mereka tidak mungkin membiarkan cucu mereka menangis kesepian di luar. Ratih baru memberitahu orangtuanya tepat ketika sang Ibu membuka pintu, ia pun langsung mengatakan dalam telepon bahwa itu adalah bayinya dan ia meminta untuk merawatnya hingga besar. Sang Ibu yang sudah berusia separuh baya itu hanya tersentak kaget. Sambungan telepon itu terputus sebelum sang Ibu mengatakan apapun. Anak itu memang bukan hasil pernikahan halal melainkan hasil ketidaksengajaan hubungan gelap Ratih. Oh lebih tepatnya bukan kesengajaan, tapi itu pekerjaannya. Ya! Melayani lelaki hidung belang. Saat mengetahui bahwa dirinya hamil, Ratih memang tidak berpikiran untuk melakukan aborsi, tapi lama kelamaan ia berpikir mempunyai anak akan sangat menganggu aktivitas serta reputasi pekerjaannya.
Tapi.. jiwa keibuan yang sejatinya ingin mempunyai seorang anak pun terpancar dari dalam jiwa Ratih. Ia ingin sekali memeluk dan menciumi anaknya yang masih harum itu, ia ingin sekali mendengar tangis pertama buah hatinya ketika melihat dunia, ia ingin sekali membisikkan pada malaikat kecilnya itu bahwa ialah yang selama sembilan bulan ini mengandungnya, dan satu hal lagi Ratih ingin anaknya menjadi wanita yang sukses dan dikenal banyak orang bukan seperti dirinya yang hanya seorang wanita yang selalu dihina dan dipandang sebelah mata. Air mata Ratih beriringan membasahi wajahnya yang peluh.
Ratih hampir tidak percaya, di tangannya kini ada seorang bayi mungil yang sangat cantik, sungguh berbeda dengannya. Senyumnya pun sangat menawan hingga mampu menghipnotis siapapun yang memandangnya. Ratih pun langsung memikirkan sebuah nama, tidak perlu waktu lama ia langsung menemukan, Amelia, ya, nama yang tampaknya sangat cocok untuk malaikat kecilnya. Air mata Ratih pun menetes lagi, menyadari bahwa ia tak pernah merasakan bahagia sehebat ini.

Malam mulai membentangkan jubah hitamnya, menyisihkan sang raja siang kembali ke peraduan, menyirnakan degradasi senja yang sarat akan keteduhan. Sayup-sayup terdengar tiupan angin yang mengusik dedaunan hingga bergesekkan. Suara binatang malam pun mulai mengaum mencekam. Malam itu purnama menggelegar benderang hingga tak satupun awan kelabu yang berani mengganggunya. Berbalik dengan Sirius, yang malah setia berada di dekatnya. Malam sejatinya mempunyai dua makna yang berlainan tapi tak dapat terpisahkan layaknya dua sisi mata uang. Sebenarnya Ratih tak sepenuhnya percaya bahwa malam mempunyai dua makna, yang ia tahu malam hanya mempunyai satu makna. Makna yang mengingatkannya pada jeritan nista-nista.
Dunia kelam itu nyatanya lebih kejam dari gulitanya malam. Karena dunia itu mengharuskannya melakukan nista dengan berharap Tuhan masih mampu memaafkan dosanya. Ratih sadar jiwanya terus memanggil-manggil untuk tidak lagi melakukan nista itu. Tapi entah kenapa, banyak bisikan-bisikan jahat yang hendak menutupi niat baiknya. Ratih pun tak tahu, ia harus memilih yang mana. Kini, ia sudah memiliki segalanya, apartemen mewah, BMW sufia hitam, dan segenap tabungannya yang ia yakin mampu menopang hidupnya selama dua tahun tanpa bekerja sekalipun. Night club itu seolah sudah menyatu padu dalam jiwanya. Hingga begitu sulit untuk melepasnya walaupun ia tahu, itu langkah yang baik.
Pikirannya beradu, bimbang, resah, gundah, memikirkan keputusan apa yang harus diambilnya, sementara itu, kehampaan jiwanya terus mengaduh, menggoyahkan relung hatinya. Ratih sejatinya hanyalah manusia biasa. Ia tentu butuh kedamaian hidup yang lebih manusiawi, yang tak dapat ia temukan ketika ia bekerja di klub malam. Entah mengapa, saat kehampaan itu mulai menjalar ke dalam jiwanya, ia selalu teringat pada seseorang. Dan orang itu adalah Amelia, bayi kecilnya yang mungkin sekarang sudah beranjak besar.
Mengapa dulu ia sama sekali tidak merasa berdosa ketika berusaha meninggalkan bayinya sendirian di tengah malam. Mengapa dirinya begitu tega membiarkannya anaknya yang baru menghirup udara dua hari, terlantar kesepian. Apakah hatinya terbuat dari batu, sehingga tidak dapat merasa kasihan. Ratih yakin, jika setiap orang mempunyai julukan, pasti dirinya sudah dijuluki manusia si keji dan si hina. Sebenarnya hampir tak ada perbedaan dari kedua kata itu, tapi menurutnya satu kata tak mampu melukiskan dosa yang selama ini ia perbuat. Mungkin memang memerlukan dua kata, tapi mempunyai satu inti. Yaitu, manusia yang tak pantas hidup atau mungkin pel*cur dan pembuang bayi.
Ratih tertunduk pasrah. Ia pasrah terhadap kelanjutan liku hidupnya yang entah bagaimana. Ia pasrah terhadap takdir Tuhan yang telah tertulis untuknya. Ia pasrah. Ya! Memang seharusnya begitu. Manusia tidak dapat hidup tanpa Tuhan. Tuhanlah yang maha mengatur, menentukan nasib, dan jalan takdir semua makhluk-makhlukNya. Bahkan daun yang jatuh ke sungai pun itu adalah takdirNya. Hanya dengan berserah diri pada-Nya, kita bisa menjalankan hidup ini tanpa beban. Ratih kembali mengusap air matanya yang berjatuhan. Ia mulai merenungi akan dosa-dosanya, yang sudah tak terhitung lagi jumlahnya. Hati kecilnya bertanya, mungkinkah Tuhan akan memaafkan dosanya. Ia menggeleng perlahan.
Wanita itu mendengar suara yang bergemerisik. “Suara itu…” Ratih terasa sangat mengenali suara itu. Seketika telinganya langsung terasa teduh ketika mendengar suara itu. Ternyata itu suara, Adzan. Sungguh ia sangat rindu panggilan adzan itu. “Kemanakah diriku selama ini. Sampai suara Adzan pun hampir tak ku kenali.” gumamnya.
Ratih memang hampir lupa identitas keislamannya, sejak mengenal dunia kelam itu. Selama ini ia memerlakukan Tuhan sebagai sasaran kesalahannya, seperti Amelia tidak bersamanya itu semua karena takdir Tuhan, pikirnya. Ajaran ibadah yang sejak kecil ditanamkan dalam dirinya seakan sirna begitu saja. Ratih bahkan lupa kapan terakhir ia salat dan kapan terakhir ia mengucap syukur pada Tuhan.
Oh manusia sepantasnya tidak begitu. Ratih kembali menangis tersedu, namun kini ia menangis dalam khusyuknya sujud yang tu’maninah. Air matanya bergelimpangan saat ia mulai mengangkat kedua tangannya seraya berkata, “Ya Tuhan, hamba hanyalah makhluk-Mu yang hina. Yang tak terhitung berapa banyak dosa yang telah hamba lakukan. Jikalau Engkau sudi, maafkanlah dosa hamba. Namun jika tidak, hamba akan mempersiapkan diri untuk menelan api neraka yang telah Kau janjikan itu. Tapi sebelum itu, hamba ingin Kau kembalikan Amelia ke sisiku lagi. Izinkanlah di sisa umurku ini aku bisa hidup bahagia bersama Amelia. Dan izinkan hamba untuk menebus segala dosa-dosa yang telah hamba lakukan padaMu, pada Amelia dan pada orangtua hamba. Mohon kabulkanlah rintihan doa hambaMu yang lemah ini ya Robb. Aamiin.”

Pagi kembali datang menyongsong, dihias pesona fajar yang mampu menghipnotis siapa saja yang memandangnya. Proses terbitnya mentari yang indah ini merupakan salah satu keajaiban yang sangat luar biasa dari Dzat pencipta keindahan, Allah azza wa jala. Dari langit yang hitam perlahan menjadi biru tua, lalu biru agak tua, berubah jadi biru sedang bercampur oranye tua hingga menjadi biru cerah dengan kuning keemasan. Kini malam telah sirna meninggalkan jejak-jejak gelapnya. Lembaran pagi yang masih suci terlahir kembali. Lembaran itu benar-benar masih kosong, bersih dan putih. Alangkah baik jika kita menghias lembaran kosong itu dengan cantik dan penuh warna.
Itu juga yang dipikirkan Ratih. Ia janji akan membuat lembaran hari baru ini menjadi lembaran yang cantik dan indah. Kini, keputusannya telah bulat untuk berhenti bekerja di klub malam itu. Ratih mulai menata hidupnya kembali. Hari ini, ia sangat bahagia, karena hari ini Ratih akan berkunjung ke rumah orangtuanya. Ia akan bertemu Amelia. Kemarin ia sudah menelepon Ibunya untuk menanyakan keadaan anaknya itu, sambil menyampaikan permintaan maaf. Kebetulan, hari ini Amelia baru pulang dari studytour-nya, setelah dua hari menginap. Hati Ratih sangat berbunga. Bahkan ia telah mempersiapkan kamar yang sudah dihias dengan bunga-bunga untuk anaknya itu. Rencananya Ratih akan mengajak Amelia beserta Ayah dan Ibunya untuk tinggal di apartementnya ini. Ia akan benar-benar memulai hidup baru.
Sejurus kemudian Ratih telah sampai di rumah orangtuanya. Ia langsung berhambur ke pelukan Ibu dan Ayahnya. Rasanya telah lama sekali tubuhnya tidak merasakan pelukan sehangat dan sedamai ini. Ia pun kembali menyampaikan permintaan maaf atas kedurhakaannya selama ini. Sebesar apapun dosa sang anak pasti hati orangtua selalu terbuka untuk memaafkan. Terkadang Ratih pun merasa malu pada dirinya sendiri, sebagai anak ia merasa sudah melakukan dosa yang sangat besar pada orangtuanya sampai-sampai ia tidak percaya bahwa dosanya yang begitu besar itu dengan sekejap langsung termaafkan.
Ratih pun langsung menanyakan keberadaan Amelia pada sang Ibu setelah beberapa saat ia tak melihat tanda-tanda kehadiran anaknya. Dengan muka yang agak kecewa sang Ibu pun menjelaskan dengan sangat hati-hati, “Ibu nggak tahu nduk, Amelia belum pulang juga. Padahal jadwalnya jam 8 tadi ia sudah sampai. Ibu sudah mencoba menelpon wali muridnya, tapi handphone-nya nggak aktif. Ibu juga sudah menelepon guru pembimbingnya, tapi handphone-nya juga gak aktif. Kebetulan pihak sekolah menelepon Ibu untuk tetap sabar menunggu. Kemungkinan bus yang ditumpangi Amelia terjebak kemacetan panjang..”
Air muka Ratih seketika langsung kacau balau. Beberapa kemungkinan buruk langsung berkelebat di pikirannya. Hati kecilnya bertanya-tanya, naluri keibuannya coba untuk merasakan putri kecilnya. Tapi entah mengapa, hanya perasaan buruk yang menggerayangi hatinya. Ratih pun sangat takut jika putrinya terluka di luar sana.
“Jangan khawatir anakku, tadi pihak sekolah juga menjanjikan jika sampai sore nanti bus rombongan Amelia belum juga tiba, mereka akan melakukan pencarian. Jadi…”
Suara telepon berdering.
“Sebentar ya nak.” sambung sang Ibu lalu mengangkat telepon.
Ratih pun tertekuk dengan pikirannya, ia tak menghiraukan kata-kata sang Ibu lagi, fokusnya hanya satu. Ya! Keberadaan putri kecilnya.
“Ratih…” panggil sang Ibu.
Ratih mengangkat wajahnya menghadap sang Ibu tanpa berkata apapun.
Sepertinya sang Ibu pun paham akan perasaan Ratih, ia masih mencoba menenangkan anaknya dengan mengatakan semuanya dengan hati-hati. “Mobil rombongan Amelia ditemukan warga jatuh ke jurang nak. Semua korban selamat tapi mengalami luka yang sangat parah. Tadi Ibu ditelepon pihak sekolah, kita harus ke rumah sakit sekarang.”
Ratih pun tak bisa berkata apa-apa lagi, mulutnya membungkam rapat, napasnya tertahan di tenggorokan, satu lagi kenyataan pahit yang harus ia telan.
           Rumah sakit yang besar ini ternyata sudah penuh sesak dengan petugas maupun sanak keluarga dari korban bus rombongan yang terjatuh di jurang itu. Tak ada tawa yang terlihat di sini, hanya isak tangis, suara rintihan serta wajah tabah yang mengiringi setiap tancapan infus dan lilitan perban. Bau obat-obatan yang menyeruak pun membaur bersama derap kaki yang hilir mudik ke mari. Begitupun dengan Ratih dan sang Ibunda, satu persatu perawat ditanyai tentang keberadaan Amelia.
Tapi semua perawat yang ditanyainya tak satupun yang tahu, mereka hanya menggeleng lalu meninggalkan pergi. Terpaksa Ratih pun harus memeriksa satu persatu kamar rawat yang ada di rumah sakit itu. Kebetulan sang Ibunda menemui guru pembimbing Amelia, ia pun menanyai keberadaan cucunya. Dengan wajah sangat menyesal sang guru pun memberitahu keadaan buruk yang telah menimpa Amelia. Tampaknya Ratih pun telah siap dengan semua kenyataan yang akan diterimanya, walaupun ternyata kenyataan itu terlalu pahit baginya.
Ternyata tak butuh waktu lama untuk menemui kamar putri kecilnya. Ratih langsung berhambur memeluk putrinya yang terbebat banyak perban itu. Amelia langsung tersenyum ia pun mengeratkan pelukannya. “Nenek…”
“Amelia kamu nggak apa-apa sayang?” sambar Ratih sambil menggenggam tangan putrinya.
“Kamu siapa? Nenek mana? Kamu bukan Nenek..”
Dengan berat hati Ratih pun melepaskan tangannya dari Amelia, mungkin sekarang bukan waktu yang tepat baginya untuk memberitahu Amelia bahwa ia adalah Ibu kandungnya. Hati Amelia pasti akan sulit menerimanya ditambah keadaannya yang telah berbeda sekarang.
“Nenek di sini sayang. Kamu jangan takut..” Sambut sang Nenek sambil mencium kening cucunya.
Sekilas senyum terbentang di bibir mungil Amelia, ia pun mengenggam tangan sang Nenek erat.
“Nek, mata Lia kenapa gak bisa kebuka. Lia kenapa nek. Kenapa badan Lia semuanya sakit. Lia di mana? Lia gak bisa lihat nek, mata Lia juga sakit.”
“Tenang ya sayang, kamu jangan banyak gerak nanti badan kamu tambah sakit. Lebih baik kamu sekarang tidur, besok kalau badan kamu udah enakan, Nenek akan jelasin semuanya ke kamu..”
“Tapi Nenek jangan kemana-mana ya, jangan ninggalin aku.” tambah Amelia.
“Nenek janji sayang..” Setelah mengecup kening Amelia, sang cucu pun langsung terlelap dengan mengenggam sebelah tangannya.
Ratih memerhatikannya dengan seksama, ia bahagia putrinya itu ternyata mempunyai Nenek yang sangat menyayanginya. Hati kecilnya pun bertanya, masih butuhkan Amelia dengan Ibu yang selama ini sudah menelantarkannya. Ditambah sekarang keadaan Amelia yang kehilangan penglihatannya akibat terbentur pecahan kaca mobil yang mengenai kedua matanya. Perasaannya kembali berkecamuk, terkadang ia merintih pada Tuhannya, “Ya Robb, mengapa engkau timpa aku dengan suatu masalah lagi, padahal kebahagiaan baru saja datang menghampiri.”

Langit yang gelap perlahan membiru seiring mencairnya embun yang bergelayut di ujung dedaunan. Pagi ini Ratih terbangun dan menjawab sahut-sahut suara adzan yang menggetarkan kalbunya. Sekilas ia melihat Amelia yang masih tertidur pulas bersama Ibundanya. Untuk sesaat ia memandangi wajah Amelia yang masih sangat bersih itu, walaupun beberapa perban melilit wajah putri kecilnya, tapi itu tidak menghilangkan kecantikan yang terpancar. Oh, ia pun seperti melihat bayangan dirinya di wajah Amelia. Ternyata anaknya sangat mewarisi karateristiknya. Ratih tersenyum simpul, tampaknya kini ia tahu apa yang harus dilakukannya sekarang.
Keajaiban air wudu ternyata memang benar adanya. Buktinya walaupun Ratih hanya membasuh sebagian tubuhnya tapi kesegaran itu merambat hingga ke seluruh tubuhnya bahkan hingga ke dalam pikiran dan hatinya. Dengan penuh khusyuk Ratih memulai takbiratul ikhram dengan perlahan dilanjutkan ruku, sujud, dan kemudian diakhiri dengan salam. Dalam doanya Ratih kembali merintih dan memohon kesembuhan atas putri kecilnya. Selesai salat langsung bangkit dan mencium kening anaknya sambil membisikkan, “Ibu mencintaimu nak.”
Dengan langkah mantap Ratih berjalan ke ruangan dokter yang menangani Amelia. Tanpa basa-basi Ratih langsung menanyakan detail tentang kondisi putrinya.
“Tidak ada masalah yang cukup serius dengan putri anda. Hanya memar ringan di bagian lutut, tangan serta pelipisnya. Kalau untuk mata, saya harus mengatakan sejujurnya. Mata putri anda terkena pecahan yang menusuk cukup dalam hingga mengenai retina matanya. Bola mata itu pun rusak parah, dan tidak bisa diselamatkan. Bisa kami simpulkan Amelia akan mengalami buta permanen. Anda tidak perlu khawatir, kami pun telah memasukkan nama putri anda sebagai pencari donor mata. Namun memang itu membutuhkan waktu yang lama, kiranya anda harus bersabar..”
Ratih berpikir sejenak, ia tak mungkin tega membiarkan putrinya berlama-lama menanti donoran mata. Amelia pasti akan depresi dan sedih berkepanjangan. Bukankah tujuannya menemui anaknya itu untuk mencari kebahagiaan. Mana mungkin ia akan bahagia jika anaknya tidak bahagia. Dan bagaimana bisa Amelia mempercayainya sebagai Ibu yang telah melahirkannya, sedangkan Amelia sendiri tak dapat melihat wujud dirinya. Akhirnya Ratih pun menyimpulkan suatu keputusan bulat. Ya! Ia sendiri yang akan mendonorkan matanya.
Operasi pemindahan retina mata itu langsung terjadi siang itu juga. Ratih sendiri yang memintanya begitu. Ia tak mau menunda-nunda, karena semakin ditunda itu akan membuat putri kecilnya semakin sedih. Sebelum menjalankan operasi, Ratih menyampaikan diri untuk melihat kembali wajah putrinya yang masih tertidur pulas. Ia pun menitikkan air mata, menyadari ini adalah saat terakhir kalinya ia dapat memandangi wajah putri kecilnya yang sudah delapan tahun tidak ditemuinya. Walaupun hanya sesingkat ini, Ratih yakin ia akan mampu mengingat wajah putrinya walau nanti ia tidak bisa melihatnya lagi. Karena wajah itu bukan tersimpan di memori otaknya yang seiring waktu bisa saja hilang, melainkan ia menyimpannya di hati, yang akan abadi dan tak mampu lekang oleh waktu.
Sang Ibu yang baru mendengar kabar pendonoran mata Ratih, langsung mencari-cari anak sulungnya itu dengan hati cemas. Ternyata Ratih sedang duduk dekat ruang operasi bahkan telah berganti dengan pakaian operasi.
“Nduk Ibu cari kemana-mana ternyata kamu di sini. Kamu ngapain Nduk pake baju ini?” tanya sang Ibu.
Ratih langsung bangkit dan memeluk Ibunya erat sambil menitikkan beberapa air mata yang dengan kilat langsung diusapnya. “Bu, doain Ratih ya, Ratih mau mendonorkan mata buat Amelia biar Lia bisa melihat lagi bu..”
Sang Ibu pun tak bisa menyembunyikan lagi air matanya yang ingin ke luar. “Kenapa harus kamu Nduk? Kita kan bisa nunggu pendonor mata yang lain..”
“Tapi itu pasti lama bu, Ratih nggak mau Lia nunggu terlalu lama. Mata Ratih ini sudah terlalu banyak berbuat dosa bu, sekarang saatnya untuk mata Ratih ini menghapus dosa-dosanya. Lagi pula orang yang akan menerima mata Ratih ini, anak Ratih sendiri bu. Jadi Ratih sama sekali nggak ragu..”
“Baiklah kalau begitu yang kamu mau. Tapi Ibu tetep nggak tega kalau kamu yang harus mengorbankan matamu Nduk..” jawab sang Ibu masih tersedu.
Ratih mengusap air mata yang mengaliri pipi Ibundanya. “Ibu harus yakin, ini demi kebaikan Amelia. Dia yang lebih membutuhkan sepasang mata, daripada Ratih. Lia masih harus bermain dan tertawa seperti teman-temannya yang lain yang masih mampu melihat indahnya dunia..”
“Tapi gimana dengan kamu Nduk? Kamu pun juga membutuhkan itu..”
“Nggak bu, Ratih nggak butuh apa-apa. Yang Ratih butuhkan itu cuma senyum dan tawa Amelia. Kalau Lia bahagia, Ratih pun bahagia..” jawab Ratih mantap.
Tak lama, seorang perawat pun datang menghampiri Ratih dan memintanya untuk segera masuk ruang operasi, karena operasi itu akan segera dimulai.
“Bu doain Ratih ya, semoga operasinya berjalan lancar..” ucap Ratih sambil mencium tangan Ibundanya dengan penuh rasa hormat dan cinta.
Operasi itu telah selesai setelah berjalan dua jam lamanya. Amelia dan Ratih ditempatkan di ruang rawat yang berbeda. Sang Ibu langsung menghampiri anak dan cucunya bergantian, dalam hatinya ia terus melafalkan doa agar anak dan cucunya bisa cepat pulih kembali.

Tak terasa senja kembali membias bersama jingganya langit di ufuk barat. Ratih hampir tak percaya, inilah senja pertama yang dilewatinya tanpa sepasang mata. Ya, memang agak berbeda, tapi ia masih mampu merasakan desiran angin yang membelai wajahnya lembut. Ratih bergumam, “Walaupun senja kini tak dapat ku pandangi, tapi aku bahagia masih mampu merasakan kedamaian dan keteduhannya. Sungguh ini tak jauh berbeda. Terima kasih ya Robb, kau memang maha adil, kehilangan penglihatan ternyata bukan berarti kehilangan segalanya..”
Suara ketukan pintu.
“Ibu…”
“Iya ini Ibu Nduk. Kamu sudah siuman ternyata.” ucap Ibu sambil membelai rambut anaknya yang tergerai panjang.
“Iya bu. Amelia gimana, dia sudah siuman atau belum?” balas Ratih.
“Alhamdulillah sudah, Ibu barusan menyuapinya. Kamu mau makan Nduk?”
“Nanti saja bu, Ratih masih kenyang. Ibu saja dulu yang makan, Ibu pasti belum makan.”
“Ibu sudah makan kok Nduk. Ya sudah kalau ada apa-apa panggil Ibu aja ya Nduk, atau kamu tekan belnya. Ini, bel-nya ada di samping tangan kananmu ya. Ibu mau ke kamar Lia lagi.” ucap sang Ibu lalu mengecup kening anaknya lalu membisikkan, “Ibu mencintaimu Nduk.”
Setelah pintu terdengar ditutup, Ratih menitikkan air mata. “Kenapa aku baru sadar bahwa selama ini aku mempunyai Ibu yang sangat perhatian dan sayang padaku. Kenapa baru sekarang…” lirihnya sambil terus mengusap butiran bening yang membanjiri pelipis matanya.
Pagi ini benar-benar membahagiakan untuk Ratih, karena hari ini Amelia sudah diperbolehkan pulang. Ia mencoba membayangkan senyum di wajah putrinya sambil bergumam, “Pasti ia akan tersenyum seperti itu..” Walau di luar langit meradang dan rintik hujan mulai turun perlahan, rasa bahagia itu tak luput dari hati Ratih. Ia malah berpikiran, hujan ikut mengamini kebahagiannya saat ini.
“Nenek, hari ini aku boleh pulang kan?” ucap Amelia semangat.
Sang Nenek menghampiri cucunya dan membelai wajahnya dengan lembut, “Iya sayang, mulai hari ini Lia boleh tidur di rumah..”
“Yes. Horee. Lia udah bosen nek tidur di sini, kasurnya sempit, nggak ada mainan dan nggak ada temen..”
“Iya, tapi kalau udah pulang Lia jangan banyak main dulu ya, luka Lia belum sembuh benar.”
“Siap nek.” balas sang cucu sambil merekahkan senyum lebar di antara katup bibirnya.
“Oh iya, Lia pakai jaketnya ya, kayaknya di luar gerimis..” Sang Nenek memasangkan jaket di tubuh cucunya lalu kembali membelai rambut cucunya yang tergerai sebahu.
Ratih yang mendengarkan percakapan itu betul-betul merasa bahagia. Ini adalah kali pertamanya ia mendengar suara putrinya yang begitu bergembira. Andai ia juga mampu melihat raut wajah gembiranya Amelia, mungkin dunia dan seisinya pun tak akan sebanding dengan itu. Sekali lagi Ratih harus meneguk kepahitan dan berlirih pelan. “Itu tak mungkin terjadi.”

Semilir angin mulai menghembus perlahan. Menggeretak bebatuan hingga memecah keheningan di sela katup bunga yang hampir mekar. Dedaunan pun ikut bergoyang seolah menikmati irama yang didendangkan oleh angin. Sang raja siang mulai beranjak menuju tahtanya, sinar keemasan pun mulai berlomba menyelinap di balik sela-sela sempit, menembus air, dan menggelayut di tulang dedaunan. Semuanya bertasbih, memuji keagungan sesuai dengan titah Tuhan-nya.
Rumah sederhana berpagar tanaman itu kini tampak lebih ramai dari biasanya. Ya, karena sudah dua minggu ini rumah itu bertambah satu penghuni yang mungkin akan tinggal menetap di sana. Kini. Di balai depan rumah itu terlihat seorang wanita muda sedang bercengkerama dengan seorang gadis kecil yang asyik memainkan boneka barbienya. Terkadang wanita itu tak sengaja menjatuhkan mainan yang dipasang sang gadis kecil, tapi gadis itu tetap tersenyum dan seakan mengerti keadaan wanita muda yang selalu berpegangan pada tongkat kayu.
“Maaf ya Lia, pasti mainanmu kesenggol Tante lagi.” ucap Ratih sambil meraba-raba mainan yang tadi disenggolnya.
“Udah nggak apa-apa Tante. Biar Lia yang ambil.” balas Amelia dan meraih mainannya yang jatuh ke lantai.
Ratih tersenyum mendengar jawaban putri kecilnya itu. Ternyata putrinya memiliki hati yang sangat lembut, yang berbanding terbalik dengan dirinya. Kalau begini, ia ingin cepat-cepat memberitahu Amelia bahwa ia adalah Ibu kandung yang sebenarnya, tapi.. entah bagaimana cara mengucapkan itu semua.
“Lia.. Apa Lia tahu sekarang Ibu Lia di mana?”
“Nggak. Dari kecil, Lia cuma punya Nenek, Kakek dan Mas Imam. Kata Nenek, Ibu Lia lagi kerja yang jauuuh di sana sama seperti Ayah Lia yang juga lagi kerja jauh.”
Ratih tersentak mendengar kata Ayah dari mulut anaknya. Ia benar-benar tak sempat berpikir, bagaimana jika ia memperkenalkan diri sebagai Ibunya, lalu Amelia bertanya padanya tentang keberadaan Ayah anak itu. Bagaimana mungkin ia bisa menjawab. Bahkan sampai sekarang pun, ia tidak tahu lelaki mana yang telah menghamilinya. Ratih berpikir keras, tapi ia memilih mengabaikan itu.
“Tapi kalau ternyata Ibu Lia sudah kembali, apa Lia mau memeluknya?”
“Pasti. Lia udah kangen banget sama Ibu. Lia nggak akan ngelepas Ibu lagi buat kerja. Lia akan minta Ibu buat nemenin Lia tidur. Lia akan nunjukin semua hasil ulangan Lia selama ini, dan minta Ibu buat ngambil rapor Lia nanti”
“Dan kalau Ibu Lia ada di hadapan Lia sekarang, apa yang mau Lia katakan pada Ibumu nak?” tanya Ratih dengan penuh harap.
Gadis kecil itu sedikit mendongak menghadap wajah Ratih lalu kembali merunduk sambil mengatakan “Ibu.. Lia kangeen banget sama Ibu. Walaupun Lia belum pernah lihat wajah Ibu, tapi Lia sayaaang sama Ibu. Lia janji, Lia nggak akan jadi anak yang nakal lagi. Tapi Ibu juga harus janji, nggak akan tinggalin Lia lagi”
Mata Ratih seketika langsung basah tergenang air mata. Dirinya terguncang kuat, kakinya bergemetar, ia pun mencoba menggapai-gapai tubuh putrinya dengan kedua tangannya. “Kemari nak, ini Ibumu. Peluk Ibumu seperti yang kau bilang nak.”
Amelia menoleh, mendapati Ratih yang sedang tersedu. “Tan..te.. ini Ibuku?”
Ratih mengangguk lalu Ibu dan anak itupun berpelukan erat seakan tak ingin lepas.
“Maafkan Ibu ya nak, Ibu sudah menelantarkanmu selama ini. Seharusnya Ibu lebih cepat pulang dan memelukmu seperti ini. Apa Lia mau memaafkan Ibu?”
“Lia mau bu. Tapi apa Ibu janji nggak akan pergi lagi?”
“Iya sayang.” Ratih mencium kening anaknya dengan penuh cinta.
Air matanya terus mengalir deras. Selama delapan tahun ini, ia baru merasakan kebahagiaan yang begitu luar biasa. Walau kedua matanya kini sudah tidak dapat melihat indahnya dunia lagi, tapi ia yang akan membiarkan dunia melihat keindahan kasih cintanya bersama putri kecilnya -Amelia.
“Ibu ingin dengar kata-kata yang kau ucap tadi nak, jika Ibumu sudah ada di hadapanmu”
Lia berbalas mencium kening Ratih lalu membisikkan ke telinganya. “Lia mencintai Ibu.”
Selesai